Sejarah
Savoy Homann Hotel
‘Esdrop, geesdrop,
leen me tien pop’ kalimat berbahasa
belanda ini yang dalam bahasa Indonesia berbunyi ‘setan gunung, setan gunung,
berilah aku 10 perak’ kata-kata ini keluar dari paruh burung beo peliharaan Wim
Homann Jr anak dari Dalilah Homann pemilik penginapan sederhana berbahan bambu.
Wim yang malas ditugaskan oleh ibunya menerima tamu malah mengajari burung beo
untuk mengganti tugasnya sebagai ‘doormen’.
Keluarga Homann berasal dari Jerman datang ke Bandung
sekitar tahun 1820 saat diberlakukannya Hukum Agraria (hukum yang membolehkan
para pendatang perorangan atau perusahaan swasta mengelola kebun atau memiliki
garapan perkebunan). Keluarga ini membangun penginapan/villa bilik bambu dimana
saat itu di Bandung hanya ada 7 bangunan permanen berdinding tembok. Kemudia
penginapan ini direnovasi menjadi setengah permanen dan akhirnya menjadi
bangunan permanen dalam beberapa tahun kemudian dan diberi nama Grand Hotel
Homann. Hotel ini menjadi destinasi para pengusaha terutama para juragan pabrik
gula dari Jawa tengah dan Jawa Timur sambil melakukan pertemuan bisnis di hotel
tersebut.
Pada tahun 1884 saat diresmikannya jalur Kereta Api
Batavia-Bandung maka parawisata Bandung semakin berkembang terdapat banyak
kunjungan wisatawan dari Batavia (hal yang hampir sama saat ini saat dibukanya
jalan tol Jakarta-Bandung, maka Bandung semakin semarak oleh kedatangan
wisatawan dari Jakarta)
Gaya arsitektur Grand Hotel Homann berubah menjadi Art Deco
seiring dengan pergantian pengelola hotel dari keluarga Homann kepada F JR Van
S, hotel ini selain menjadi tempat menginap orang-penting penting seperti Raja
Siam (sekarang Thailand), Raja-raja dari Jawa seperti Paku Buwono dan Hamengku
Buwono juga pernah dikunjungi oleh komedian dunia yang terkenal yaitu Charlie
Caplin. Hotel ini juga dijadikan tempat pertemuan tingkat Internasional
diantaranya Kongres Para Pengusaha Teh se-dunia atau kongres Ilmuwan se-Asia
Fasific.
Namun dibalik gemilangnya prestasi Grand Hotel Homann, Hotel
ini pernah mengalami sepi pengunjung dengan hotel-hotel lain yang banyak
bermunculan di tahun 1930-an. Seiring dengan semaraknya parawisata di Bandung
saat itu hotel ini malah kurang mengantisipasi perkembangan tersebut dan kalah
bersaing dengan hotel-hotel lain.
Pada tahun 1937 Grand Hotel Homann di renonavasi oleh
pemiliknya dengan menggandeng arsitek terkenal Albert F Albers. Untuk
mengantisipasi persaingan bisnis saat itu selain di renovasi besar-besaran juga
mengganti nama menjadi Savoy Homann dan diresmikan tahun 1939.
Baru berjalan beberapa tahun aktifitas hotel ini
terganggu dengan datangnya kolonial Jepang ke Indonesia pada tahun 1942 dimana
saat itu hotel ini berubah fungsi menjadi asrama tentara Jepang. Pada tahung
1945 saat Pemerintah Kolonial Belanda mengambil alih kekuasan jepang, hotel ini
juga berubah fungsi menjadi markas Red
Cross intl (Palang Merah
Internasional) dan baru setahun kemudian diserahkan kepada pemiliknya F JR Van
S. Pada tahun 1952 sesaat setelah F JR Van S meninggal dunia hotel ini dikelola oleh Van S Van Debri yang tak lain istri dari F JR Van S. Kemudian saham hotel ini dijual sebanyak 60% kepada seorang pribumi yaitu H.M.R Saddak seorang pengusaha eksport import yang juga sebagai anggota DPR RI. Berkat H.M.R Saddak hotel ini melegenda menjadi saksi bisu sejarah dunia karena banyak agenda Internasional terselenggara di Hotel ini seperti pertemua PATA, Konferensi Islam Internasional (OKI) dan paling fenomenal adalah tempat menginapnya para kepala negara Konferensi Asia Afrika 1955. Dengan kapasitas 147 kamar super mewah bergaya art deco hotel ini menjadi bagian dari sejarah Indonesia bahkan dunia yang terus dilestarikan sampai saat ini dengan berbagai peringatan sejarah seperti Peringatan 50 tahun KTT Asia Afrika tahun 2005 dan beberapa kali KTT non Blok yang diselenggarakan di Bandung, bahkan di tahun 2015 ini peringatan Konferensi AA akan menjadi bagian dari keberadaan Hotel ini. (sumber you tube dan wikipedia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar